Kamis, 23 Januari 2014

PELANGI KELABU



Entah sudah berapa jam aku duduk di teras rumahku dengan harapan yang tidak akan pernah terwujud. Mataku tidak akan bisa menikmati indahnya dunia ini.

Tetapi aku bisa merasakan hangatnya sinar matahari dan angin segar yang diberikan untukku. Matahari yang kata orang berwarna kuning terang. Namun, mataku hingga saat ini tidak bisa membuktikannya.

Aku menghela nafas panjang. Kembali aku rasakan hangatnya sinar matahari yang menyelimutiku dengan harapan mataku dapat melihat kuning terang matahari. Tapi, kenyataan selalu berkata lain dengan apa yang aku harapkan, bahwa aku memang tidak akan pernah bisa melihat warna lain selain warna hitam dan putih. Aku tidak pernah bisa membedakan warna dari banyaknya warna pelangi, warna putihnya awan yang menyelimuti langit, dan warna-warna lain yang indah jika terlihat oleh mata.


Banyak orang berkata bahwa hidup itu penuh warna tapi menurutku itu hanyalah omong kosong. Kenyataannya, hidupku hanya bisa melihat warna hitam dan putih, warna abu-abu. Banyak pasang mata yang dapat menikmati indahnya warna dari pelangi sebagai sumber inspirasi dan semangat hidup mereka. Tetapi mataku hanya seperti televisi jaman dulu, hanya hitam dan putih yang aku lihat dari pelangi itu. Aku hanya bisa melihat warna dengan terbatas dan buta warna itu hanya berlaku untukku.

Aku memiliki teman dekat, teman yang selalu mengisi keseharianku. Dia bernama Alex. Namun, keterbatasan ini yang membuat pacarku meninggalkan aku. Pacarku sangat suka dengan melukis dan memotret. Banyak warna dalam hidupnya. Setiap aku berulang tahun, dia selalu memberiku lukisan dan foto tetapi aku selalu mengatakan kata “maaf” kepadanya karena kekuranganku yang hanya bisa melihat warna dengan terbatas. Mungkin dia sudah bosan dengan perkataan maafku  karena aku tidak bisa melihat keindahan goresan dan warna dari lukisan yang dibuatnya. Dia yang memutuskan hubungan ini. Tetesan air mata bercucuran membasahi pipiku, tetapi mungkin ini yang terbaik, dia pantas untuk mendapatkan pasangan yang lebih baik dari aku, yang bisa melihat indahnya warna dan goresan dari setiap lukisannya.

.................................................

Waktu menunjukkan pukul 05.30 pagi, aku berjalan menyusuri kota. Suasana pagi ini masih cukup tenang, belum banyak kendaraan yang melintas. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat. Dia terlihat bingung, hampir saja dia tertabrak mobil, tetapi dengan cepat aku menolong dan menariknya ke pinggir.

“Lain kali kalau mau jalan hati-hati ya, walau masih sepi tapi banyak kendaraan yang lewat” kataku.

Perempuan itu tidak menjawab dan hanya menganggukkan kepala dan pergi meninggalkan aku. Dia berjalan dengan pelan-pelan sambil memegang apapun yang sekiranya ada di dekatnya. Aku merasa khawatir tapi aku mencoba untuk menepisnya.

Perempuan ini berkaca mata hitam, bertubuh tinggi, cantik dan berkulit putih dengan rambut panjang yang terurai.

Tanpa pikir panjang, aku melanjutkan perjalanan menuju ke bukit tepatnya di tengah kota.



............

Di Bukit Kota...

            Bukit kota di pagi ini masih sangat sepi, tapi aku menyukai kesunyian ini. Aku duduk dengan mengambil posisi yang nyaman dan menikmati sejuknya angin yang berhembus sepoi-sepoi. Tanpa kusadari, ada seseorang yang duduk di dekatku. Ternyata dia adalah seseorang yang aku selamatkan tadi. Entah gimana caranya hingga Ia juga bisa disini tetapi setiap orang bisa ke bukit ini dengan bebas.

            “Hai..namamu siapa? Aku Cindy,” ucapku mengawali pembicaraan pagi itu, Ia menjawab tanpa menoleh ke arahku.

“Aku Elisa,” jawabnya singkat tanpa memedulikan jabatan tanganku.

“Oh.. apa yang kamu lakukan di bukit ini? Pasti mau menikmati indahnya warna biru langit dan warna-warna dari pohon-pohon disini kan? Kalau aku sih hanya ingin menikmati kesejukannya.” Ucapanku membuat dia menoleh ke arahku.

“Tidak, aku tidak pernah melihat indahnya warna langit dan warna pepohonan disini.” Jawabnya.

            Sepertinya tujuanku dengan tujuannya ke bukit ini adalah sama.

“Selain embusan angin, aku ingin menikmati suara angin yang membuat pohon-pohon di sekitar bukit bergesekan satu dengan yang lain” katanya penuh arti. 

            Keindahan bukit yang diselimuti awan biru ini terlalu terbatas untuk dinikmati kedua mataku. Keindahan awan biru yang berada diatas kitapun aku tak bisa nikmati keindahannya.

“Kamu daritadi membicarakan keterbatasan matamu. Memang ada apa dengan matamu?” tanyanya penasaran.

Pertanyaan itu membuat Cindy terdiam, dia serasa tak ingin menjawabnya tapi bagaimanapun dia harus menjawab kekurangannya itu.

“Aku buta warna sejak kecil, aku hanya bisa menikmati dua warna dalam hidupku, hitam dan abu-abu. Semuanya menjadi kelabu untukku. Aku ingin melihat indahnya warna di dunia ini tetapi mataku tidak mampu!” jawabnya tegas dengan perasaan sedih.

“Harusnya kamu bersyukur masih bisa melihat walaupun hanya dua warna”

“Bersyukur? Aku sampai tidak mengerti apa arti bersyukur”

“Kamu pernah tau tidak ada orang yang tidak bisa melihat hitam dan putih di matanya?”


“Siapa?”

“Aku.”


“Kamu?”

“Iya aku tunanetra. Aku buta, aku tidak bisa melihat warna-warna di dunia ini. Aku hanya melihat hitam dalam hidupku, aku ingin sekali melihat warna putih” jawabnya

Aku terkejut. Ternyata dia buta? Pantas saja tadi dia berjalan meraba-raba sekitar dan sangat hati-hati. Harusnya aku bisa mengerti dengan gerak-geriknya.

Aku seperti di tampar, aku terlalu mengasihiani diriku sendiri padahal di sisi lain masih ada yang lebih menderita daripada aku. Dua warna harusnya membuat aku untuk lebih bersyukur.

“Kamu ingin melihat pelangi?” tanyanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.

“Iya, aku ingin melihatnya” jawabku dengan menganggukkan kepala.

“Bulan ini kan musim penghujan, datang ke bukit kota ini lagi setelah hujan reda” pintanya.

Aku kembali menjawab “iya”, walau sebenarnya aku tidak mengerti apa maksudnya, seharusnya dia tau kalau aku tidak bisa melihat warna pelangi.

.........

Siang Menjelang Sore

            Hujan sudah mulai reda, sesuai janjiku kemarin aku harus ke bukit kota. Aku bergegas pergi dan setelah sampai di bukit kota aku segera duduk mendekati Elisa yang sudah dulu sampai di bukit kota.

“Cindy, apakah kamu melihat pelangi itu?” tanyanya pelan.

“Iya aku melihatnya, ada banyak warna disana tetapi aku tak bisa melihat indahnya warna pelangi itu” jawabku bernada sedih.

            “Kamu sedih ya? Aku juga, bahkan aku tidak bisa menikmati indahnya warna pelangi di atas sana bahkan melihat wujud pelangi saja aku tidak bisa”

            “Ini hanya membuat luka di hati kita masing-masing Sa”

“Tidak. Kamu tidak mengerti apa yang aku sampaikan”

Aku hanya diam dan tidak menanggapi ucapannya kali ini.

“Pelangi itu indah tergantung siapa yang melihatnya. Maksudnya hidup berwarna atau tidak tergantung bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Seorang tunanetra juga dapat melihat warna-warni hidup, tidak hanya hitam saja. Warna hidup suka dan duka. Warna yang tidak hanya di lihat tapi juga bisa di rasakan.

            Aku tunanetra permanen saat aku mengalami kecelakaan parah di masa kecilku, kecelakaan itu juga yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Walau banyak orang seperti kamu tidak dapat melihat warna tetapi kamu bisa mengerti makna itu, seperti kita yang tidak dapat melihat Tuhan tetapi kita dapat merasakan damai kehadiran Tuhan di tengah-tengah kita. Hidup ini tidak tertutup hanya karena tidak bisa melihat. Hidup tidah hanya karena sepasang mata yang tidak bisa melihat banyak warna pelangi”

Air mata mulai membasahi pipi, kata-kata Elisa seperti sebuah tamparan keras bagiku. Aku sadar hidup ini terlalu indah dan panjang jika hanya untuk meratapi keterbatasan dan kekurangan yang kita miliki.

“Warna pelangi mengajariku banyak hal. Ada dua warna pelangi. Satu, pelangi di atas sana dan yang kedua pelangi dalam hidup kita. Terkadang tidak hanya warna-warni tetapi bisa juga berwarna hitam dan putih.
Aku bisa melihat warna dengan senyum kecilku, warna yang memberikan kedamaian. Sekarang aku bisa melihat warna pelangi itu, dan itu sudah tidak menjadi omong kosong lagi untukku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar