Entah sudah berapa jam aku duduk
di teras rumahku dengan harapan yang tidak akan pernah terwujud. Mataku tidak
akan bisa menikmati indahnya dunia ini.
Tetapi aku bisa merasakan
hangatnya sinar matahari dan angin segar yang diberikan untukku. Matahari yang
kata orang berwarna kuning terang. Namun, mataku hingga saat ini tidak bisa
membuktikannya.
Aku menghela nafas panjang.
Kembali aku rasakan hangatnya sinar matahari yang menyelimutiku dengan harapan
mataku dapat melihat kuning terang matahari. Tapi, kenyataan selalu berkata
lain dengan apa yang aku harapkan, bahwa aku memang tidak akan pernah bisa
melihat warna lain selain warna hitam dan putih. Aku tidak pernah bisa
membedakan warna dari banyaknya warna pelangi, warna putihnya awan yang
menyelimuti langit, dan warna-warna lain yang indah jika terlihat oleh mata.
Banyak orang berkata bahwa hidup
itu penuh warna tapi menurutku itu hanyalah omong kosong. Kenyataannya, hidupku
hanya bisa melihat warna hitam dan putih, warna abu-abu. Banyak pasang mata
yang dapat menikmati indahnya warna dari pelangi sebagai sumber inspirasi dan
semangat hidup mereka. Tetapi mataku hanya seperti televisi jaman dulu, hanya
hitam dan putih yang aku lihat dari pelangi itu. Aku hanya bisa melihat warna
dengan terbatas dan buta warna itu hanya berlaku untukku.
Aku memiliki teman dekat, teman
yang selalu mengisi keseharianku. Dia bernama Alex. Namun, keterbatasan ini
yang membuat pacarku meninggalkan aku. Pacarku sangat suka dengan melukis dan
memotret. Banyak warna dalam hidupnya. Setiap aku berulang tahun, dia selalu
memberiku lukisan dan foto tetapi aku selalu mengatakan kata “maaf” kepadanya
karena kekuranganku yang hanya bisa melihat warna dengan terbatas. Mungkin dia
sudah bosan dengan perkataan maafku
karena aku tidak bisa melihat keindahan goresan dan warna dari lukisan
yang dibuatnya. Dia yang memutuskan hubungan ini. Tetesan air mata bercucuran
membasahi pipiku, tetapi mungkin ini yang terbaik, dia pantas untuk mendapatkan
pasangan yang lebih baik dari aku, yang bisa melihat indahnya warna dan goresan
dari setiap lukisannya.
.................................................
Waktu menunjukkan pukul 05.30
pagi, aku berjalan menyusuri kota. Suasana pagi ini masih cukup tenang, belum
banyak kendaraan yang melintas. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang lewat.
Dia terlihat bingung, hampir saja dia tertabrak mobil, tetapi dengan cepat aku
menolong dan menariknya ke pinggir.
“Lain kali kalau mau jalan
hati-hati ya, walau masih sepi tapi banyak kendaraan yang lewat” kataku.
Perempuan itu tidak menjawab dan
hanya menganggukkan kepala dan pergi meninggalkan aku. Dia berjalan dengan
pelan-pelan sambil memegang apapun yang sekiranya ada di dekatnya. Aku merasa
khawatir tapi aku mencoba untuk menepisnya.
Perempuan ini berkaca mata hitam,
bertubuh tinggi, cantik dan berkulit putih dengan rambut panjang yang terurai.
Tanpa pikir panjang, aku
melanjutkan perjalanan menuju ke bukit tepatnya di tengah kota.
............
Di Bukit Kota...
Bukit kota di pagi ini
masih sangat sepi, tapi aku menyukai kesunyian ini. Aku duduk dengan mengambil
posisi yang nyaman dan menikmati sejuknya angin yang berhembus sepoi-sepoi. Tanpa
kusadari, ada seseorang yang duduk di dekatku. Ternyata dia adalah seseorang
yang aku selamatkan tadi. Entah gimana caranya hingga Ia juga bisa disini
tetapi setiap orang bisa ke bukit ini dengan bebas.
“Hai..namamu siapa? Aku
Cindy,” ucapku mengawali pembicaraan pagi itu, Ia menjawab tanpa menoleh ke
arahku.
“Aku Elisa,” jawabnya singkat tanpa memedulikan jabatan tanganku.
“Oh.. apa yang kamu lakukan di bukit ini? Pasti mau menikmati indahnya
warna biru langit dan warna-warna dari pohon-pohon disini kan? Kalau aku sih
hanya ingin menikmati kesejukannya.” Ucapanku membuat dia menoleh ke arahku.
“Tidak, aku tidak pernah melihat indahnya warna langit dan warna
pepohonan disini.” Jawabnya.
Sepertinya tujuanku
dengan tujuannya ke bukit ini adalah sama.
“Selain embusan angin, aku ingin menikmati suara angin yang membuat
pohon-pohon di sekitar bukit bergesekan satu dengan yang lain” katanya penuh
arti.
Keindahan bukit yang
diselimuti awan biru ini terlalu terbatas untuk dinikmati kedua mataku.
Keindahan awan biru yang berada diatas kitapun aku tak bisa nikmati
keindahannya.
“Kamu daritadi membicarakan
keterbatasan matamu. Memang ada apa dengan matamu?” tanyanya penasaran.
Pertanyaan itu membuat Cindy
terdiam, dia serasa tak ingin menjawabnya tapi bagaimanapun dia harus menjawab
kekurangannya itu.
“Aku buta warna sejak kecil, aku
hanya bisa menikmati dua warna dalam hidupku, hitam dan abu-abu. Semuanya
menjadi kelabu untukku. Aku ingin melihat indahnya warna di dunia ini tetapi
mataku tidak mampu!” jawabnya tegas dengan perasaan sedih.
“Harusnya kamu bersyukur masih
bisa melihat walaupun hanya dua warna”
“Bersyukur? Aku sampai tidak
mengerti apa arti bersyukur”
“Kamu pernah tau tidak ada orang
yang tidak bisa melihat hitam dan putih di matanya?”
“Siapa?”
“Aku.”
“Kamu?”
“Iya aku tunanetra. Aku buta, aku
tidak bisa melihat warna-warna di dunia ini. Aku hanya melihat hitam dalam
hidupku, aku ingin sekali melihat warna putih” jawabnya
Aku terkejut. Ternyata dia buta?
Pantas saja tadi dia berjalan meraba-raba sekitar dan sangat hati-hati.
Harusnya aku bisa mengerti dengan gerak-geriknya.
Aku seperti di tampar, aku terlalu
mengasihiani diriku sendiri padahal di sisi lain masih ada yang lebih menderita
daripada aku. Dua warna harusnya membuat aku untuk lebih bersyukur.
“Kamu ingin melihat pelangi?”
tanyanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Iya, aku ingin melihatnya”
jawabku dengan menganggukkan kepala.
“Bulan ini kan musim penghujan,
datang ke bukit kota ini lagi setelah hujan reda” pintanya.
Aku kembali menjawab “iya”, walau
sebenarnya aku tidak mengerti apa maksudnya, seharusnya dia tau kalau aku tidak
bisa melihat warna pelangi.
.........
Siang Menjelang Sore
Hujan sudah mulai reda,
sesuai janjiku kemarin aku harus ke bukit kota. Aku bergegas pergi dan setelah
sampai di bukit kota aku segera duduk mendekati Elisa yang sudah dulu sampai di
bukit kota.
“Cindy, apakah kamu melihat
pelangi itu?” tanyanya pelan.
“Iya aku melihatnya, ada banyak
warna disana tetapi aku tak bisa melihat indahnya warna pelangi itu” jawabku
bernada sedih.
“Kamu sedih ya? Aku
juga, bahkan aku tidak bisa menikmati indahnya warna pelangi di atas sana
bahkan melihat wujud pelangi saja aku tidak bisa”
“Ini hanya membuat luka
di hati kita masing-masing Sa”
“Tidak. Kamu tidak mengerti apa
yang aku sampaikan”
Aku hanya diam dan tidak menanggapi ucapannya kali ini.
“Pelangi itu indah tergantung siapa yang melihatnya. Maksudnya hidup
berwarna atau tidak tergantung bagaimana kita menjalani kehidupan ini. Seorang tunanetra
juga dapat melihat warna-warni hidup, tidak hanya hitam saja. Warna hidup suka
dan duka. Warna yang tidak hanya di lihat tapi juga bisa di rasakan.
Aku tunanetra permanen
saat aku mengalami kecelakaan parah di masa kecilku, kecelakaan itu juga yang
merenggut nyawa kedua orang tuaku. Walau banyak orang seperti kamu tidak dapat
melihat warna tetapi kamu bisa mengerti makna itu, seperti kita yang tidak
dapat melihat Tuhan tetapi kita dapat merasakan damai kehadiran Tuhan di
tengah-tengah kita. Hidup ini tidak tertutup hanya karena tidak bisa melihat.
Hidup tidah hanya karena sepasang mata yang tidak bisa melihat banyak warna
pelangi”
Air mata mulai membasahi pipi, kata-kata Elisa seperti sebuah tamparan
keras bagiku. Aku sadar hidup ini terlalu indah dan panjang jika hanya untuk
meratapi keterbatasan dan kekurangan yang kita miliki.
“Warna pelangi mengajariku banyak hal. Ada dua warna pelangi. Satu,
pelangi di atas sana dan yang kedua pelangi dalam hidup kita. Terkadang tidak
hanya warna-warni tetapi bisa juga berwarna hitam dan putih.
Aku
bisa melihat warna dengan senyum kecilku, warna yang memberikan kedamaian.
Sekarang aku bisa melihat warna pelangi itu, dan itu sudah tidak menjadi omong
kosong lagi untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar